Thursday, June 18, 2009

Aulia Pohan Divonis 4,5 Tahun




JAKARTA - Besan Presiden SBY, Aulia Pohan, harus memupus keinginan untuk bebas dari jerat hukum. Sebab, kemarin majelis hakim Pengadilan Tipikor akhirnya mengganjar mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia itu dengan pidana 4,5 tahun penjara. Aulia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia senilai Rp 100 miliar.


Aulia tidak sendirian di penjara. Ketua Majelis Hakim Kresna Menon juga menghukum tiga anggota dewan gubernur bank sentral lain. Mereka adalah Maman H. Soemantri (4,5 tahun), Bunbunan E.J. Hutapea (4 tahun) dan Aslim Tadjudin (4 tahun). Di samping itu, mereka harus menanggung beban denda masing-masing Rp 200 juta subsider 3 bulan penjara.

Putusan terhadap ayah artis Anissa Pohan itu justru lebih berat dibanding tuntutan jaksa yang dikoordinatori Rudi Margono. Pada sidang dua pekan sebelumnya, mereka meminta hakim menghukum empat anggota dewan gubernur tersebut 4 tahun penjara.

Menurut hakim anggota Anwar, vonis Aulia itu dilandasi sejumlah pertimbangan memberatkan. Di antaranya, tindakan empat anggota dewan gubernur itu dianggap menodai citra Bank Indonesia sebagai bank sentral. "Para terdakwa juga tidak kooperatif membantu pemerintah yang tengah berusaha memberantas korupsi," jelasnya.

Setelah vonis dijatuhkan, Aulia tidak mau menanggapi. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada kuasa hukumnya, OC Kaligis. "Kami mengajukan banding," terangnya. Upaya hukum juga ditempuh tiga terdakwa lain: Maman, Bunbunan, dan Aslim. "Saya masih merasa tidak bersalah yang mulia. Karenanya, saya mengajukan banding," ungkap Bunbunan dengan suara terbata-bata. Pernyataan sama diberikan Aslim yang duduk di sampingnya.

Dalam putusan itu, majelis hakim sesungguhnya tidak kompak. Empat hakim, yakni Edward Patinasarani, Anwar, Hendra Yospin, dan Slamet Subagyo menilai Aulia cs dinilai terbukti dakwaan primer yang melanggar pasal 2 (1) UU Pemberantasan Tipikor. Ini pasal yang menjerat penyelenggara negara yang dinilai memperkaya orang lain.

Hakim Hendra Yospin, anggota majelis yang lain, menilai Aulia cs telah menyetujui pencairan dana Rp 100 miliar itu di luar sistem anggaran. Keputusan pemenuhan dana tersebut melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 3 Juni dan 22 Juli 2003. Dana tersebut belakangan mengalir ke dua pihak, yakni Rp 31,5 miliar kepada anggota DPR untuk amandemen UU BI dan penyelesaian BLBI dan Rp 68,5 miliar kepada lima mantan pejabat BI yang tersangkut kasus hukum. "Padahal, pemenuhan dana tersebut sifatnya tidak insidental dan mendesak," jelasnya.

Mekanisme yang berlaku di bank sentral, seharusnya anggota dewan gubernur bisa meminta tambahan anggaran pengeluaran (TAP) untuk pembiayaan aktivitas BI. "Langkah itu juga tidak patut dilakukan mengingat keuangan BI yang defisit," terangnya. Sebagai anggota dewan gubernur, seharusnya mereka bisa memutuskan untuk menunda pemenuhan tersebut.

Hendra juga menjelaskan alasan hukum terhadap keputusan dewan gubernur mengalirkan dana BI tersebut. Menurut dia, dana kepada para mantan pejabat BI itu digunakan untuk diseminasi. "Diseminasi seharusnya tidak dilakukan orang per orang, apalagi mantan pejabat, melainkan oleh lembaga yakni BI," ungkapnya.

Sementara itu, penyelesaian persoalan BLBI secara politis di DPR tak patut manakala sampai bagi-bagi dana dalam jumlah besar. "Praktik semacam ini yang menyuburkan korupsi di Indonesia," ungkapnya. Persetujuan penggunaan dana YPPI itu, kata hakim Slamet Soebagyo, telah menimbulkan kerugian negara cukup besar.

Dalam putusan itu, permintaan jaksa menagihkan kerugian negara tak bisa dipenuhi para pengadil. Hakim beralasan bahwa dalam pemeriksaan di sidang tak terbukti sepeser pun dana YPPI tersebut yang mengalir kepada empat terdakwa. "Para terdakwa tak memperoleh sesuatu dari tindakannya," ucapnya.

Majelis hakim dalam putusannya tidak menyebut keterlibatan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution. Padahal, menurut majelis hakim, pasal 55 ayat 1, ihwal penyertaan tindak pidana yang dilakukan pihak lain terbukti. Dalam nota tuntutan yang dibacakan JPU sebelumnya, jaksa menilai Anwar terbukti turut serta dalam tindak pidana yang dilakukan keempat terdakwa karena ikut hadir dan menyetujui keputusan rapat dewan gubernur BI.

Dalam sidang itu, hakim Kresna Menon yang memimpin persidangan berbeda pendapat (dissenting opinion). Hakim menilai Aulia terbukti melanggar pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Pasal ini juga didakwakan jaksa dalam dakwaan subsider. Ini norma bagi penyelenggara negara yang melanggar kewenangan.

Menurut mantan ketua PN Ngawi tersebut, keempat terdakwa berwenang mengambil keputusan dalam RDG. Merujuk UU BI, RDG merupakan wadah pengambil keputusan tertinggi di bank sentral. ''Keputusan menggunakan dana YPPI tersebut yang dinilai tidak beriktikad baik dan menyalahgunakan kewenangan," ungkap Kresna.

Skandal kasus BI itu memang berbuntut panjang. Hingga saat ini, sudah sembilan orang dijebloskan ke tahanan. Namun, di antara mereka belum ada yang menerima putusan hakim karena masih mengajukan upaya hukum. (lihat grafis). Menanggapi putusan itu, pengacara Aulia, OC Kaligis, mengungkapkan bahwa hakim tidak mempertimbangkan saksi yang dia ajukan.

Di antaranya ahli keuangan negara Ratnawati. Kaligis juga menanggapi bahwa ada pihak yang harus bertanggung jawab dalam kasus itu. "Salah satunya mereka yang melaksanakan RDG 22 Juli 2003. Itu disebut bertanggung jawab bersama-sama. Mengapa Anwar Nasution dikecualikan," ungkapnya.

Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto menegaskan tengah mempelajari putusan hakim tingkat pertama yang menyebut Anwar tersebut. "Kami tengah mempelajari,
"

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentar teman-teman buat blog belajar ini...

PageRank 100 Blog Indonesia Terbaik
Widget edited by kanigoropagelaran
top